Kehujahan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah
KEHUJAHAN HADITS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH
Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA
Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad[1]. Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia[2]. Demikian pula dengan sebagian ulama ushul[3], yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam aqidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” [Al Ahzab/33 : 36]
Dan firman-Nya :
اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” [Ali Imran/3 : 32]
Ibnu Hajar berkata : “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad”[4]
Ibnu Abil ‘Izzi berkata : “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini.”[5]
Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?”
Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ ”[6]. Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang”[7]. Imam Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang aqidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.
Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Semua yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad baik, maka kita tetapkan dan bila tidak tetap (tidak sah) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita tidak menerimanya maka kita kembalikan urusan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al Hasyr/59 : 7]
Dengan demikian Imam Syafi’i rahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan hadits.[8]
Ibnu Taimiyah berkata : “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya.”[9]
Dan Ibnu Qayyim berkata saat menolak orang yang mengingkari hujjah hadits ahad : “Termasuk hal ini ialah pemberitahuan sebagian shahabat kepada sebagian yang lain, karena berpegang teguh pada apa yang diberitakan oleh salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata kepada seorang yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beritamu adalah berita perorangan (khabar ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir.
Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal. Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum. Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah.[10]
Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran[11] bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah aqidah. Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْـًٔاۚ
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” [An Najm/53 : 28]
Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan.[12]
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ((وَمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍۗ)) maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat ((وَاِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْـًٔاۚ)) maksudnya tidak dapat menempati (menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
“Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan.”[13]
Keraguan dan dusta adalah perbuatan yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, hal itu dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” [Al An’am/6 : 116]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka dengan persangkaan yang merupakan sikap yang mengada-ada dan dusta. Dan jika kebohongan dan dusta itu yang menjadi dzan, maka dalam masalah hukum tidak boleh dipakai[14]. Karena hukum tidak didirikan atas keraguan dan mengada-ada.
Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpecaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi terpecaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.
DALIL-DALIL KEHUJAHAN HADITS AHAD
Dan bila sudah jelas kepalsuan argumentasi yang menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah, maka dalil yang mewajibkan menerimanya banyak sekali, baik dari Al Qur’an maupun hadits, yaitu :
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”[At Taubah/9 : 122]
Ayat ini memerintahkan umat untuk belajar agama. Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang.
Imam Bukhari berkata : “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” [Al Hujurat/49 : 9]
Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas[15]. Jika perkataan seseorang yang berkaitan dengan masalah agama dan dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hokum.[16]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” [Al Hujurat/49 : 6]
Dalam sebagian qira’ah, ((فَتَبَيَّنُوْٓا : Berhati-hatilah))[17]. Ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu.[18]
3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” [An Nisa’/4 : 59]
Ibnul Qayyim berkata : “Ummat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu.”[19]
Adapun dalil-dalil dari hadits itu banyak sekali, antara lain :
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para Raja satu persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun keyakinan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiallahu ‘anhu ke negara Najran[20], Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu ke negara Yaman[21]. Dihyah Al Kalbi radhiallahu ‘anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah[22] dan lain-lain.
- Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, ia berkata :“Ketika manusia ada di Quba’ menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Al Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka mereka menghadap Ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka’bah [23].” Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits.
- Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[24]
Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan.
- Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.”[25]
Dan ini tidak terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah, tetapi bersifat umum, meliputi hadits amaliyah, hukum, dan i’tiqad. Apabila masalah-masalah akidah yang ditetapkan dengan hadits-hadits ahad itu tidak wajib diimani, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini tidak menyampaikan haditsnya secara mutlak, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan masalah itu terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah saja tidak lainnya.
Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dasar dalam hal aqidah, itu merupakan pendapat bid’ah dan mengada-ada yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan ulama Salafus Shalih tidak pernah ada yang mengatakan demikian, bahkan hal itu tidak pernah terlintas pada mereka. Andaikata kata dalil Qath’iy yang menunjukkan bahwa hadits ahad itu tidak layak untuk masalah aqidah, niscaya sudah dimengerti dan sudah dijelaskan shahabat dan ulama Salaf. Kemudian pendapat bid’ah tersebut berarti menolak beratus-ratus hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka orang yang tidak mengambil hadits ahad dalam masalah aqidah, niscaya mereka menolak beberapa hadits ahad tentang akidah lainnya, seperti tentang :
- Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi semua Nabi ‘Alaihimus sallam.
- Syafaatnya yang besar di akhirat.
- Syafaatnya terhadap umatnya yang melakukan dosa besar.
- Semua Mu’jizat selain Al Qur’an.
- Proses permulaan makhluk, sifat Malaikat dan Jin, sifat Neraka dan Surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur’an.
- Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur.
- Himpitan kubur terhadap mayit.
- Jembatan, telaga, dan timbangan amal.
- Keimanan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rizkinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya.
- Keistimewaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikumpulkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al Khasha’is Al Kubra, seperti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa.
- Berita kepastian bahwa sepuluh shahabat dijamin masuk Surga.
- Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka.
- Percaya kepada hadits shahih tentang sifat Hari Kiamat dan Padang Mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an.
- Percaya terhadap semua tanda kiamat, seperti keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘Alaihis Salam, keluarnya api, munculnya matahari dari barat, dan binatang-binatang, dan lain-lain. Kemudian semua dalil akidah, menurut mereka tidak sah dengan hadits ahad. Dalil-dalil aqidah itu bukan dengan hadits ahad, tetapi dalilnya harus dengan hadits mutawatir. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu orang yang mengingkari kehujjahan hadits ahad itu maka mereka menolak semua akidah yang berdasarkan hadits shahih[26].
[Disalin dari buku Asyratus Sa’ah, edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil, MA, Terbitan Pustaka Mantiq, Cetakan Kedua Nopember 1997. Hal. 38-45]
_______
Footnote
[1] Hadits dari segi datangnya kepada kita ada dua. Yaitu Mutawatir dan Ahad. Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan ulama banyak yang tidak mungkin mereka berdusta mulai dari awal sanad sampai akhir. Ahad yaitu hadits selain Mutawatir. Lihat Taqrib An Nawawy. Tadrib Al Rawi 2/176, Qawaid At Tahdits halaman 146 karya Qasimi, dan Tafsir Musthalah Al Hadits halaman 18-21, Dr. Mahmud Tahhan.
[2] Contohnya ulama Mu’tazilah dan ulama Mutaakhirin, seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Syalabi, Abdul Karim Utsman, dan lain-lain. Lihat Al Farq Bainal Firaq halaman 180, editor Muhyidin Abdul Hamid, Fathul Bari 13/233, Qadhi Al Qudhah, Abdul Jabbar Al Hamdani, halaman 88/90 Dr. Abdul Karim Utsman, Risalah Tauhid halaman 202 M. Abduh editor M. Rasyid Ridha. Lihat sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah Nabi halaman 92-93 oleh Abi Lubabah Husein, Kitab Masihiyah, Perbandingan Agama halaman 44 oleh Dr. Ahmad Syalabi, lihat Fatawa, Mahmud Syaltut halaman 62 yang berkata : “Para ulama sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah terhadap akidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib”. Dan lihat kitabnya “Islam Akidah dan Syariat” halaman 53. Lihat “Al Masih dalam Al Qur’an, Taurat, dan Injil” 539 karya Abdul Karim Khatib.
[3] Lihat Syarah Al Kaukab Al Munir Fi Ushul Fiqh 2/352 karya M. bin Ahmad Al Hanbali editor Dr. Muhammad Suhaili dan Dr. Nazih Hamad
[4] Lihat Fathul Bari 13/234.
[5] Lihat Syarah Aqidah Ath Thahawi karya Ali bin Ali bin Abi Izz Al Hanafi halaman 399-400 telah diedit oleh para ulama dan haditsnya telah ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani cetakan Maktab Islami, cetakan IV, 1391 H.
[6] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah 2/350, karya Ibnul Qayyim diringkas oleh Muhammad bin Al Masih, diedarkan oleh Lembaga Kajian Ilmiyah dan Fatwa Riyadh dan lihat Ar Risalah Imam Syafi’i halaman 401, tahqiq Ahmad Syakir terbitan Al Muhtar Al Islamiyyah cetakan II 1399 H, dan lihat Syarah Ath Thahawi halaman 399 karya Ibnu Abil Izz.
[7] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/350.
[8] Lihat Ittihaf Al Jamaah 1/4.
[9] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 19/85.
[10] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/361-362.
[11] Lihat Risalah Wajib Mengikuti Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Menolak Orang Yang Menentangnya, halaman 6-7.
[12] Lihat An Nihayah 3/162-163.
[13] Lihat Shahih Muslim 16/118.
[14] Lihat Al Aqidah fii Allah, karya Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan II, 1969.
[15] Lihat Shahih Bukhari dan Fathul Bari 13/231.
[16] Lihat Al Aqidah fii Allah halaman 51.
[17] Lihat Tafsir Asy Syaukhani 5/60.
[18] Lihat Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7, karya Syaikh Al Albani
[19] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352 karya Imam Ibnul Qayyim.
[20] Lihat Shahih Bukhari 13/232.
[21] Lihat Shahih Bukhari 3/261.
[22] Lihat Shahih Bukhari 13/241.
[23] Lihat Shahih Bukhari 13/232.
[24] Lihat Shahih Bukhari 13/232.
[25] Lihat Musnad Ahmad, 6/96, hadits nomor 4157 tahqiq Ahmad Syakir, Imam Ahmad meriwayatkan dengan dua sanad shahih, lihat tentang hadits : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar kata-kataku, baik secara riwayah maupun dirayah.” Halaman 33 dan seterusnya karya Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al ‘Abbad, cetakan Al Rasyid Madinah Al Munawarah, cetakan I, 1401 H
[26] Lihat Risalah Wajib Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 36-39 dan kitab Aqidah halaman 54-55 karya Umar Asyqar.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2398-kehujahan-hadits-ahad-dalam-masalah-aqidah.html